Rabu, 04 Maret 2009

Pantai Suluban





Teruskan saja kendaraan dari jembatan dekat tanda jalan masuk Padang-Padang, anda akan menemui pantai ini yang cukup magis.Puluhan (maybe hundreds or so) anak tangga harus dituruni, sampai akhirnya kesempatan untuk berada di pantai indah ini bisa dinikmati. Tidak terlalu banyak pasir yang bisa dilihat dan rasakan, karena begitu sampai dibawah, kubah karang menyambut. Selebihnya ombak dengan debur agresif ombak dominasi suasana. Banyak surfer yang inginkan Suluban sebagai tempat untuk tandai petualangan selancar dunia mereka, dan sepertinya ombak yang ada tidak terlalu mengecewakan.
Beauty is beauty, so much fun berada di pantai ini.
Another reason saya kagumi sang Khalik yang begitu dahsyat ciptakan alam Bali, yang kadang penduduk Bali sendiri tidak syukuri dan nikmati.
Drop yourself by (bahasa balinya: celepang iba kemu muh, hehe) ke Suluban, another place to blend yourself to mother nature.

Rabu, 28 Januari 2009

Mortal Kombat , a childhood memory





Tadi malem waktu sedang mencoba untuk tidur, sempet liat2, ada apa di jendela televise saya, kali2 aja ada yang seru.
Ternyata ngga ada.
So I distract myself with a book to read, with the tv still on.
10-15 sec setelah itu, ada suara di tv, musik trance-house, dengan shout “Moooootal Kombaaat!!!!!”

Wuo.

Satu tv ternyata nayangin lagi film ini, yang diadaptasi dari video game.
Kilat langsung teringat masa2 dahulu jaman Mortal Kombat pertama muncul as a video game, banyak yang protes, terutama asosiasi pegawas perkembangan anak2, yang bilang kalo game ini terlalu gory/keras/brutal.

It is…

It is gory and brutal.

Ripping somebody’s beating heart out of the body, peel their skin, spit fire to the dying enemies, eat them…
But as u know, most boys love these kinda thang. That includes me.
Just a form of entertainment. You may group this as a foolish thing boys like. But hey. It happends only on that screen.
Dulu waktu getol main ini, hamper tiap hari harus sempet memainkan tokoh2 fav, seperti:

Scorpion

(bisa melempar tali yang mencekik lawan dan menarik lawan yang sudah terjepi oleh tajamnya cengkeraman tali ini, lalu setelah sempoyongan, di-upercut. So cool. Seneng banget make tokoh ini. KAlo brutalitynya, dia buka topeng dan nyembur lawan dengan api yang keluar dari mulutnya sampai hangus. Note: komuknya jelek banget. Hehehe.

Sub Zero,

pendekar yang punya kesaktian bisa freeze (mbekuin) lawan. Kalo ngga sala cara ngeluarinnya itu sama seperti ngeluarin bola api-nya Ken dan Ryu di Street Fighter.

Johnny Cage!

Jagoan flamboyan Hollywood yang punya tendangat kilat. Kalo menang pasti buru2 pake kaca mata, biar gaya.

Raiden,

wah gila ni tokoh. So wise and cool. Seorang pendekar yang punya tenaga listrik or something.

Wah jadi pengen main lagi. And kill those mofos.. Haha….

Minggu, 28 Desember 2008

t.a.u.t.


sudah lepas
mata tak lihat
telinga tak dengar

tapi

nadi2 masih tersambung
serat2 halus jiwa masih alirkan ruh mu

sampainya di sini

menjadi awan di pikiran
menjadi getar di nyawa
menjadi gundah di banyak waktu
menjadi penutup mata di jalan

lelah bertanya kenapa
lelah abaikan kenyataan
lelah berusaha
jadi biarkan saja

Jumat, 05 Desember 2008

Pagi Yang Tenang

jantung lebih pelan
labirin pemikir terbuka sedikit
tubuh yang ringan
kafein yang berat
kantin yang sepi
lantai dua
seragam2 tak terlihat
pagi yang tenang
datang lagi esok hari

Denpasar, 3 December 2008
9.53 AM

Rabu, 03 Desember 2008

Diam Dulu, Aku Sedang Mencari…

“by Dedi Kristian

“John, kamu ngomong apa barusan?” “Coba ulangi?”
“Maksudmu kata yang mana Wan?”
“Uda gila kamu? Mana ada orang yang ngga berpenghasilan? ”
“Ada. Nih aku sendiri?”
“Wah edan wong iki… kamu sudah ikut aku lumayan, dua bulan kerja di toko bangunanku, kamu rapi kerjaane, dan minimal ada pemasukan untuk hari2mu makan… Lah sekarang… Kok ya mau berhenti? Ya opo seh? ”
“Ya gini ini Wan… Aku sudah memutuskan untuk fokus melukis saja. Ada banyak yang belum aku selesaikan. Semua pekerjaan lain mengganggu karyaku.”

Dan perdebatan itu berlangsung hanya 2 menit setelah itu. Dengan John membawa pulang gaji terakhirnya, dan pergi membeli segudang alat cat.

John Sagita, pemuda sarjana ekonomi yang puluhan kali masuk-keluar mencoba bekerja di tempat yang ia lebih suka sebut sebagai penjara, seperti di kantor, di restoran waralaba, rumah sakit, advertising, terakhir membantu teman SD-nya, Suwan, di sebuah toko bangunan besar yang merintis untuk bangun cabang ke-2. John akan diberikan kuasa manajemen penuh jika ia terlihat bekerja dengan baik selama 6 bulan ini.

Tapi setelah amplop gaji bulan kedua ditangannya, ia dengan ringan menyatakan ingin berhenti kerja, ini karena rong-rongan gairahnya untuk melukis tak bisa ia abaikan.

John Sagita sangat kecanduan melukis kosmik. Entah dari view finder teleskop tua pemberian teman kakeknya yang sering dipakai untuk mengamati bintang, entah dari National Geographic, entah dari imajinasi, ia sangat kecanduan melukisi sudut padang bintang dan susunan tata surya.

Oh ya, ia pembenci Star Trek, Starship Troopers, Planet Of The Apes dan Star Wars. Ia sering beranggapan kalau penulisnya bodoh, karena telah memberi pengaburan terhadap estetika luar angkasa. “Luar angkasa itu tenang, aku pernah tinggal disana, tak ada makhluk lain, tak ada jet dan laser berterbangan, luar angkasa itu tenang, tidak berat udaranya, jangan kotori. Luar angkasa itu tenang.” Katanya dalam sebuah percakapan dengan Suwan, Dimana waktu itu Suwan menyesal sudah menanyakan hal itu, karena mendapatkan jawaban yang bodoh. Wajar, karena Suwan adalah pebisnis Surabaya yang lebih akrab dengan hal dan hil seperti keadaan pasar, naik turun harga, bunga bank dll. Kedalaman jiwa tak seberapa penting baginya. Ia ingin terlihat baik di depan ayahnya dengan mengelola toko bangunan yang baru di’bikinkan’ oleh papa tercinta. Satu2nya yang buat ia nyambung dengan John adalah bangku SD dan masa jahiliah bersama berdua dulu, plus pertemuan reuni bulanan di kedai kopi gaya western milik teman satu angkatan juga dulu.

John Sagita, nama ini diambil dari zodiaknya, sagitarius. Walau ini sangat dekat dengan ketertarikannya pada tatanan bintang, tapi ia tak pernah percaya zodiak dan ramalan. Ia percaya zodiak tak akan membawanya kemana-mana. Tapi tatanan bintang, ya, tata surya, akan menunjukkan arah mana, untuk mencari.

Mencari.
Kata itu… mungkin kata yang ia harus taruh di shout out facebook, jika ia memilikinya.

Enam bulan sejak John Sagita berhenti dari Suwan, ada satu peristiwa. Bukan luar biasa, tapi hanya obrolan dengan meja kecil, frappuchino panas, malam reuni yang semakin sepi anggotanya.

“John, terus gimana lukis melukismu iku? Masih ta?”
“Wah banyak yang jadi, Cuma aku sekarang lagi kehabisan cat. Sudah dua minggu aku tidak melukis di kanvas.”
“Lha terus ya opo, berhenti ngelukis la’an?”
“Ngga, aku pake kertas aja, beli kertas hitam atau biru navy jadi dasar, terus tak tempeli guntingan kertas kecil2. Oh kamu harus lihat satu karyaku, itu aku potong dari majalah, kaya seperempat bagian bulan kelihatan, di depannya ada Bumi yang terlihat kecil. Jadi kaya kita ngelihat Bumi dari ketinggian dari bulan. Seru lho Wan.”
(Sudah terbiasa dengan keanehan John) “Oh yah… Lha terus kamu ini sebenernya selama ini makan dari mana John?”
(Semangat ceritanya sedikit menurun karena pembelokan topik dari Suwan) “Sempat aku ditawari buat njual lukisanku, tapi sayang ah, aku mending simpan. Enak aja rasaya, lihat2 hasil lukisanku.”
“Terus, 6 bulan ini, kamu gimana biayain semua?”

John lebih tertarik pada kopinya yang kepulkan uap melambai keatas, melebur dengan udara beranda kedai yang menghadap jalan. Ia menyeruput kopi, menaruhnya diatas meja kembali, dan berucap “Yang lain kemana, ya? Ko belum datang?” Katanya seolah mengabaikan. Tapi sebenarnya ia dari dulu memang seperti pemuda autis, yang hanya merespon pembicaraan yang menarik untuk dirinya sendiri dan buatnya penasaran.

Pertanyaan terakhir Suwan tak menarik.

(Tahu rasa penasarannya tak terjawab, Suwan mengalihkan ke penasaran lainnya)
“John, kenapa seh, kamu itu a ngelukisnya langit, luar angjasa dan bintang bintaaaaaaaang tok. Kenapa?”

“Ibuku…”
“Kenapa ibumu? Bukannya sudah meninggal toh, waktu kamu SD, aku inget kamu nginep di rumahku semingguan, buat ngilangin sedih kamu.”
“Iya.”
“Lha terus?”
“Iya, Ibu meninggalnya ndadak banget. Orang rumah ngga ada yang siap. Termasuk aku. Aku setelah itu sering nanya sama Bapak. “Ibu kemana?”
“Di sana nak…” Sambil sang Ayah menunjuk ke langit malam hitam.

“Jadi…”

“Aku…”

“…mencari Ibu.”

“Di langit.”

“Setiap Hari…”

“Kemana ya dia?”

Denpasar, 3 Desember 2008
1.12 PM

Selasa, 02 Desember 2008

Distorsi Malam Hari

grooook
gruuut
diam sejenak….
krok!
gruuuuuuut!
tanda kau terlelap
dengan tenang
pemulihan ragamu
tanda yang buatku sedikit senang,
artinya kau membaik dari sakitmu
walau
buatku tetap terjaga
mata tertutup tapi bahana
darimu
buatku tak lekas berangkat ke bimasakti mimpi
dua setengah menit kemudian kau lanjutkan lagi
gruuuuuugh
gruuuuuugh
tak apalah
aku keluar dulu
sejenak saja

Denpasar, 1 Desember 2008
11.11 PM

Kamis, 20 November 2008

Ini Kemana

Berlari berarti berjalan
Berjalan berarti tak bergerak
Seberapa arti cukup
Sampai kapan kasut ini menemani
Berapa ratus jengkal lagi harus diarungi

Mata2 terpasang di pingiran jalan
Mulut2 koarkan bising di setiap tikungan
Ribut
Risih
Ini jalanku kah

Sudah ah
Ku berhenti saja
Berhenti dulu
Hirup udara dulu
Hapus peluh dulu
Ku tak peduli apa kau setuju
Ku berhenti dulu

Renon, 17 November 2008
7.30 PM